TAMU
ISTIMEWA
Ramadhan, bulan seribu berkah dengan berbagai keistimewaan
yang terkandung di dalam bulan tersebut. Pahala dilipatgandakan, pintu-pintu
surga dibuka sedangkan pintu neraka di tutup. Ampunan Allah turun layaknya
hujan yang turun ke bumi dengan derasnya. Dan berbagai keistimewaan lainnya.
Semua menyambut gembira dengan datangnya bulan tersebut. Setiap
golongan dari manusia dari yang tua sampai muda saling berkirim pesan menyambut
datangya bulan tersebut. Tapi juga tidak sedikit yang mencoba “menggunakan”
kedatangan tamu istimewa tersebut dengan berbagai ambiguitas-ambiguitas yang
sulit diterka. Terkadang kita tidak menyadari apakah hal tersebut merupakan hal
yang mulia atau sesunguhnya adalah sebuah kehinaan.
Dengan datangnya bulan tersebut, manusia saling
berbondong-bondong melaksanakan amal kebaikan katanya sih fastabiqul
khairat. Tarawih, salat jamaah, salat duha, tadarus al Quran dan amal
kebaikan lainnya. Ada yang dengan ikhlas atau ada juga yang cuma ikut-ikutan thok.
Masjid full jamaah, di sana sini terdengar kemerduan orang melantunkan
bacaan-bacaan al Quran. Di bulan tersebut, tak sedikit orang yang bertanya “sudah
sampai juz berapa? sudah khatam berapa kali?”. Ada yang menjawab "saya sudah sampai juz 20". dan jawaban, "saya sudah khatam dua kali". Atau malah jawaban, "saya baru mulai kog,
atau pun pelan-pelan saja urusan khatam belakangan." dan berbagai jawaban lain yang semua memiliki alasannya masing-masing. Cuma sedikit geli, apakah pertanyaan dan jawaban tersebut mengandung unsur pelecut semangat atau sekedar meninggikan diri?? Tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan Tuhannya.
Selama tamu istimewa berada di bumi ini, fenomena-fenomena
tersebut seakan menjadi sebuah tradisi setahun sekali. Namun setelah tamu pergi
tak ayal masjid mlompong, suwung, dan kemerduan al Quran jarang terdengar. Atau
bahkan mungkin malah mushaf sudah “di-museum-kan” kembali di rak-rak dan
terkunci rapat. Jika hal tersebut benar adanya, manusia seakan-akan terkungkung
dalam sebuah kerangka yang dinamakan Ramadhan. Ketika kerangka tersebut menjadi lunak dan tercerai berai, ia
bisa lari dan bebas, merdeka. Bukankah lebih baik manusia bisa merdeka dalam
kerangka tersebut? Tanpa ada tendensi lain kemerdekaan tersebut hanya ditujukan
pada Pemilik Kemerdekaan? Lalu bagaimana menyikapi hal tersebut???
Wallahu ‘alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar