Entri Populer

Senin, 21 April 2014

Kebenaran atau Ketepatan



Kebenaran atau Ketepatan

Suatu hari ada seorang pemuda yang kebingungan akan sebuah keputusan. Ia sedang menghadapi sebuah dilema, apakah kebenaran yang akan disampaikannya, atau ketepatan. Kebenaran memiliki unsur yang netral, yang di dalamnya murni apa yang sebenarnya. Jika memang rumput itu hijau yang dibilang hijau, merah ya merah. Atau dalam kasus yang lain, seorang dokter menghadapi pasien yang sakit parah, kemudian dokter tersebut mengira-ngira, pasiennya hanya bertahan 2-3 minggu saja. Jika kebenaran yang ia pegang, maka ia akan mengatakan bahwa “Hai Fulan engkau akan bertahan 2-3 minggu saja.”

Tetapi apakah rasa kemanusiaannya yakin dan berani untuk mengatakan hal tersebut? Apakah dengan hati dingin ia mengatakan yang sebenarnya? Atau malah memojokkan pasien dengan mengatakan ini adalah akibat dari perbuatannya di masa lampau? Apakah ia yakin bahwa analisisnya tersebut memang sebuah kebenaran? Atau ia lebih memilih “ngapusi” dengan memberikan motivasi dan semangat kepada pasiennya?
Mungkin memang yang ia sampaikan itu adalah sebuah kebenaran. Dari mulai observasinya, olah datanya, analisisnya sampai pada tahap kesimpulannya dilandasi dengan data-data yang teruji. Dengan kata lain validitas kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, ada kalanya sebuah kebenaran harus berhadapan dengan rasa manusia baik dalam keadaan paralel maupun sebaliknya. Kalo paralel ya diterima, kalo tidak, ya nggak diterima. Seperti pada contoh kasus di atas, dokter memiliki hak sepenuhnya untuk mengatakan yang sebenarnya, namun mungkin rasa manusianya menolak hal tersebut. Ia merasa tidak tega menyampaikan itu semua. Takut-takut nanti pasiennya malah takut, down, dan malah tidak sampai 2 minggu sudah mati duluan. Yang bisa ia sampaikan hanya motivasi untuk terus semangat menjalani hidup.
Bolehlah kita telusuri lebih jauh mengenai “sebuah kebenaran”. Siapa sebenarnya yang memiliki kebenaran mutlak. Kebenaran yang pasti benar, tidak  ada unsur paksaan di dalamnya, tidak ada pihak-pihak yang intervensi, campur tangan pihak lain. Apakah manusia dengan akalnya? Hewan dengan instingnya? Atau tumbuhan, batu, udara, air, yang senantiasa bergerak sesuai dengan hukum alam?
Kebenaran mutlak dan yang hakiki adalah milik yang Maha Kuasa. Manusia yang katanya sebagai penghuni utama bumi hanyalah diberi pengetahuan yang sangat sedikit. Namun sering kali kesombongan, keegoisan yang bersemayam dalam dada manusia telah menjadikan pengetahuan yang hanya sedikit itu untuk menghakimi segala hal, baik itu membenarkan atau menyalah-nyalahkan, meskipun terkadang keputusan yang diambil kurang tepat. Sehingga terkadang pemaksaan kebenaran akan keputusan malah menimbulkan kegaduhan yang tidak terduga-duga.
Bahkan terkadang, manusia mengatakan itu benar, itu salah, hanya berdasarkan asumsi dan persepsi dalam satu sudut pandang tanpa diimbangi dengan sudut pandang yang lain. Seperti jika kita melihat rumah dari depan maka yang tampak ya teras, pintu utama, jendela. Coba kalo lihatnya dari samping, belakang atau dari atas. Pasti yang tampak juga berbeda.
Parahnya lagi, informasi yang diperoleh hanya dari kabar, yang biasa dilabeli dengan istilah “kabar burung”, “isapan jempol”. Dengan yakin dan mantap orang akan mengatakan sesuai dengan kabar tersebut tanpa mau menelusuri, meneliti, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya ya kecewa dan penyesalan yang akan didapatinya di akhir nanti.
Kita hanya meminjam kebenaran yang dibocorkan sedikit oleh Tuhan, tingkatannya pun berlapis-lapis, dan yang tahu pasti kebenaran hakiki hanya Dia. Mungkin kita bisa berpegang pada falsafah jawa yang mengatakan “kudu eling lan waspada”. Selalu ingat dan berhati-hati dalam berucap, bertindak, harus dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik setiap keputusan yang akan diambil. Jika sudah bener  maka ia juga harus memenuhi kriteria pener.
Wallahu alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar