Kebenaran atau Ketepatan
Suatu hari ada seorang pemuda yang kebingungan akan sebuah keputusan. Ia
sedang menghadapi sebuah dilema, apakah kebenaran yang akan disampaikannya,
atau ketepatan. Kebenaran memiliki unsur yang netral, yang di dalamnya murni
apa yang sebenarnya. Jika memang rumput itu hijau yang dibilang hijau, merah ya
merah. Atau dalam kasus yang lain, seorang dokter menghadapi pasien yang sakit
parah, kemudian dokter tersebut mengira-ngira, pasiennya hanya bertahan 2-3
minggu saja. Jika kebenaran yang ia pegang, maka ia akan mengatakan bahwa “Hai Fulan
engkau akan bertahan 2-3 minggu saja.”
Tetapi apakah rasa kemanusiaannya yakin dan berani untuk mengatakan hal
tersebut? Apakah dengan hati dingin ia mengatakan yang sebenarnya? Atau malah
memojokkan pasien dengan mengatakan ini adalah akibat dari perbuatannya di masa
lampau? Apakah ia yakin bahwa analisisnya tersebut memang sebuah kebenaran?
Atau ia lebih memilih “ngapusi” dengan memberikan motivasi dan semangat kepada
pasiennya?
Mungkin memang yang ia sampaikan itu adalah sebuah kebenaran. Dari mulai
observasinya, olah datanya, analisisnya sampai pada tahap kesimpulannya
dilandasi dengan data-data yang teruji. Dengan kata lain validitas kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, ada kalanya sebuah kebenaran harus berhadapan dengan rasa manusia baik
dalam keadaan paralel maupun sebaliknya. Kalo paralel ya diterima, kalo tidak,
ya nggak diterima. Seperti pada contoh kasus di atas, dokter memiliki hak
sepenuhnya untuk mengatakan yang sebenarnya, namun mungkin rasa manusianya
menolak hal tersebut. Ia merasa tidak tega menyampaikan itu semua. Takut-takut
nanti pasiennya malah takut, down, dan malah tidak sampai 2 minggu sudah
mati duluan. Yang bisa ia sampaikan hanya motivasi untuk terus semangat
menjalani hidup.
Bolehlah kita telusuri lebih jauh mengenai “sebuah kebenaran”. Siapa
sebenarnya yang memiliki kebenaran mutlak. Kebenaran yang pasti benar,
tidak ada unsur paksaan di dalamnya,
tidak ada pihak-pihak yang intervensi, campur tangan pihak lain. Apakah manusia
dengan akalnya? Hewan dengan instingnya? Atau tumbuhan, batu, udara, air, yang
senantiasa bergerak sesuai dengan hukum alam?
Kebenaran mutlak dan yang hakiki adalah milik yang Maha Kuasa. Manusia yang
katanya sebagai penghuni utama bumi hanyalah diberi pengetahuan yang sangat
sedikit. Namun sering kali kesombongan, keegoisan yang bersemayam dalam dada
manusia telah menjadikan pengetahuan yang hanya sedikit itu untuk menghakimi
segala hal, baik itu membenarkan atau menyalah-nyalahkan, meskipun terkadang
keputusan yang diambil kurang tepat. Sehingga terkadang pemaksaan kebenaran
akan keputusan malah menimbulkan kegaduhan yang tidak terduga-duga.
Bahkan terkadang, manusia mengatakan itu benar, itu salah,
hanya berdasarkan asumsi dan persepsi dalam satu sudut pandang tanpa diimbangi
dengan sudut pandang yang lain. Seperti jika kita melihat rumah dari depan maka
yang tampak ya teras, pintu utama, jendela. Coba kalo lihatnya dari samping,
belakang atau dari atas. Pasti yang tampak juga berbeda.
Parahnya lagi, informasi yang diperoleh hanya dari kabar, yang biasa
dilabeli dengan istilah “kabar burung”, “isapan jempol”. Dengan yakin dan
mantap orang akan mengatakan sesuai dengan kabar tersebut tanpa mau menelusuri,
meneliti, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya ya
kecewa dan penyesalan yang akan didapatinya di akhir nanti.
Kita hanya meminjam kebenaran yang dibocorkan sedikit oleh Tuhan,
tingkatannya pun berlapis-lapis, dan yang tahu pasti kebenaran hakiki hanya
Dia. Mungkin kita bisa berpegang pada falsafah jawa yang mengatakan “kudu eling
lan waspada”. Selalu ingat dan berhati-hati dalam berucap, bertindak, harus
dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik setiap keputusan yang akan
diambil. Jika sudah bener maka ia
juga harus memenuhi kriteria pener.
Wallahu
alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar